
Tapsel Sumut 8/11/2025, Redmol. Id
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan perangkat desa Indonesia. Kebijakan yang merevisi PMK 108/2024 ini membawa perubahan signifikan dalam mekanisme penyaluran Dana Desa tahap II, memunculkan reaksi beragam dari Sabang hingga Merauke.PMK 81/2025 mewajibkan desa untuk membentuk Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) sebagai syarat utama pencairan Dana Desa tahap II. Pemerintah menilai koperasi ini dapat menjadi “mesin ekonomi” desa, yang memungkinkan pengelolaan dana desa tidak hanya untuk belanja rutin, tapi juga sebagai modal pengembangan ekonomi berkelanjutan.
Melalui koperasi, diharapkan terdapat peningkatan transparansi, gotong royong, sekaligus tumbuhnya berbagai usaha bersama masyarakat desa.Namun di balik optimisme ini, pelaksanaan PMK 81/2025 memunculkan tantangan serius. Banyak desa kecil dan terpencil yang kesulitan memenuhi syarat administratif seperti akta pendirian koperasi dan surat komitmen di APBDes.
Terbatasnya sumber daya manusia dan pemahaman hukum menambah beban perangkat desa yang sudah sarat tugas. Kekhawatiran terbesar muncul dari risiko pencairan Dana Desa tahap II tertunda atau bahkan gagal karena koperasi belum terbentuk, sehingga program pembangunan dan layanan dasar seperti PAUD, posyandu, dan padat karya berpotensi terhenti.Dua kelompok pun muncul dalam dinamika ini.
Kubu pendukung PMK melihat pembentukan Kopdes Merah Putih sebagai langkah strategis untuk mendorong kemandirian dan pemberdayaan ekonomi desa. Sebaliknya, pengkritik menilai kebijakan ini terlalu mendadak, berisiko menambah lapisan birokrasi, bahkan bisa mematikan roda pembangunan karena kekurangan pendampingan yang memadai.
Kunci keberhasilan PMK 81/2025 terletak pada pelaksanaan yang penuh kehati-hatian. Pemerintah didorong memberikan masa transisi lebih fleksibel, pendampingan intensif mulai dari proses pendirian koperasi hingga pengelolaan administrasi, dan penyesuaian sanksi agar layanan dasar desa tidak terganggu.
Jika dijalankan dengan bijak, kebijakan ini punya potensi mengubah Dana Desa menjadi modal ekonomi masa depan yang kuat, bukan sekadar "uang belanja". Sebaliknya, tanpa perhatian yang cukup, risiko pil pahit bisa menimbulkan kemunduran bagi banyak desa.
IAB
