
Tapsel Sumut 1/11/2025, Retmol. Id
Akhmad Syukri Nazri Penarik tumbuh dari latar yang sederhana — bahkan keras. Lahir di Sibolga pada 1 Oktober 1990, ia dibesarkan oleh ibunya setelah sang ayah meninggalkan keluarga. Masa kecil yang tidak mudah itu membentuk karakter Syukri: tenang, namun berdaya tahan tinggi.
Pendidikan dasarnya ditempuh di Sibolga, lalu sekolah menengah di Tapanuli. Gelar sarjana ia raih di Medan, sebelum kemudian kembali ke tanah kelahiran untuk memulai karier yang kelak membawanya ke panggung politik daerah. Setelah sempat bekerja sebagai ajudan Bupati Tapanuli Tengah, Syukri masuk ke dunia legislatif. Pemilu 2019 mengantarnya ke DPRD Sibolga, dan tak lama kemudian ia dipercaya menjadi Ketua DPRD 2019–2024. Pada 20 Februari 2025, setelah memenangkan Pilkada 2024 bersama pasangannya, ia dilantik sebagai Wali Kota Sibolga.
Namun reputasi kepemimpinannya benar-benar diuji pada akhir November 2025. Banjir dan longsor besar melanda wilayah utara Sumatera. Jalur darat lumpuh, sinyal komunikasi hilang, dan sejumlah daerah terisolasi. Dalam situasi itu, Syukri sedang tidak berada di Sibolga. Keputusan yang diambilnya kemudian mencuri perhatian publik: ia memilih kembali ke kotanya, meski akses resmi tertutup total.
Pesan terakhirnya diterima pada Selasa, 25 November, sebelum jaringan padam. Setelah itu, Syukri tidak dapat dihubungi. Selama tiga hari dua malam ia menempuh perjalanan darat tanpa sinyal, menyeberangi sungai, menyusuri hutan, dan melewati lebih dari 50 titik longsor. Total sekitar 50 kilometer ia tempuh dengan berjalan kaki.
Pada Jumat malam, 28 November 2025, informasi yang ditunggu warga akhirnya datang: Wali Kota Sibolga tiba di kota dalam kondisi kelelahan dan mengalami sejumlah luka gores, namun selamat. Melalui unggahan singkat, ia menulis, “Hari Jumat siang, alhamdulillah saya sampai di Sibolga dengan berjalan kaki 3 hari 2 malam.”
Setibanya di kantor, ia langsung memimpin koordinasi penanganan bencana bersama lembaga terkait. Respons cepat ini memicu gelombang reaksi publik. Banyak warga menilai tindakan Syukri sebagai bentuk komitmen kepemimpinan yang nyata — hadir di lapangan pada saat situasi paling genting. Ungkapan apresiasi mengalir di media sosial dan pemberitaan.
Namun di sisi lain, peristiwa ini juga menimbulkan pertanyaan kritis. Fakta bahwa seorang kepala daerah harus berjalan kaki selama berhari-hari untuk kembali ke wilayahnya menandakan persoalan serius: keterbatasan jalur evakuasi, lemahnya infrastruktur penghubung, serta sistem komunikasi darurat yang belum memadai. Sejumlah pengamat melihat insiden ini sebagai momentum evaluasi, baik di tingkat daerah maupun pusat, untuk memperkuat mitigasi bencana di kawasan pesisir dan perbukitan Sumatera Utara.
Kisah perjalanan Syukri bukan hanya menonjolkan aspek personal dan keberaniannya, tetapi juga membuka diskusi lebih luas tentang kesiapsiagaan bencana, tata kelola wilayah, dan ekspektasi publik terhadap pemimpin daerah. Di tengah situasi darurat, langkah yang ia ambil memberi sinyal kuat tentang gaya kepemimpinannya: responsif, langsung turun ke lapangan, dan tidak menunda keputusan. Namun dampak paling penting dari insiden ini mungkin berada jauh di luar narasi heroik — pada dorongan untuk memperbaiki sistem, agar bencana berikutnya tidak lagi melumpuhkan kota dan memaksa seorang wali kota berjalan puluhan kilometer demi mencapai tempat tugasnya.
IAB
